Sabtu, 12 Februari 2011

Teori Konflik

TEORI KONFLIK

Istilah konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan. Menurut asal katanya istilah “konflik “ (conflict) berasal dari bahasa latin confligo, yang berarti bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang, berselisih, atau berperang (Saptono & Suteng, 2006).
Konflik diyakini merupakan suatu fakta utama dalam masyarakat. Konflik sosial biasanya dipahami sebagai suatu proses sosial disasosiatif atau saling bertentangan antarpihak. Dalam proses tersebut, masing-masing pihak berusaha saling menguasai atau sangat berpengaruh. Cara yang ditempuh bisa menggunakan kekerasan atau non kekerasan.
Konflik mempunyai fungsi-fungsi positif. Salah satunya adalah mengurangi ketegangan alam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambahdan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan social.
A. Teori Konflik Era Klasik
1. Teori Konflik Polybius
Dalam khasanah pemikiran Yunani kuno, para pemikir mengemukakan konflik sebagai suatu hal yang utama. Bahkan konflik dianggap sebagai sebagai fakta sosial yang mendasar. Pengembangan teori konflik pada zaman purba dilakukan oleh Polybius yang mencapai puncaknya pada tahun 205 – 125 SM. Polybius melihat konflik terjadi akibat penyebarluasan suatu wilayah yang dilakukan oleh pihak penguasa dan dilakukan secara paksa dan menggunakan kekuatan-kekuatan yang besar dan luar biasa.
2. Teori Konflik Ibn Khaldun (1332-1406 M)
Ibn Khaldun dipandang sebagai sosiolog sejati karena didasarkan pada pandangannya tentang beberapa prinsip pokok untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah termasuk di dalamnya timbul dan tenggelamnya negara-negara.
Faktor yang menyebabkan bersatunya manusia dalam suku-suku, negara dan sebagainya adalah rasa solidaritas atau hubungan antar masyarakat sebagai hasil peniruan dan pembauran. Menurut Ibn Khladun faktor-faktor inilah yang menyebabkan adanya ikatan dan usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan bersama yang terjadi antar manusia yang memberikan peluang terjadinya konflik.
3. Teori Konflik Machiavelli (1469-1527)
Karya populernya “The Princes” dan “Discourses on the First Ten Books of Livy”. Dalam karya ini diberikan gambaran bahwa hakikat manusia pada dasarnya adalah jahat “ manusia adalah jahat dan sesungguhnya manusia itu dengan mudah mempertunjukkan kekejamannya”.
Kehendak untuk menakukkan sesama manusia sebagai sesuatu hal yang dipandang alami. Manusia dapat berbuat baik hanya bilama mereka dalam keadaan terpaksa. Bilamana watak jahat itu disembunyikan pada waktu sesaat, hal ini hendaknya dianggap sebagai sesuatu hal yang tak tersadarkan dan pada sewaktu-waktu kita berada dalam kondisi kekurangan serta merta menunjukkan sifat aslinya yakni akan perbuatan jahat. “Kemiskinan dan rasa lapar membuat manusia itu menjadi rajin dan hokum membuat manusia itu memilih kesempatan untuk berbuat baik”.
4. Teori Konflik Jean Bodin (1530-1596)
Jean Bodin menulis bahwa melemahnya sistem kerajaan (Perancis) pada waktu itu disebabkan oleh konflik agama antar Katolik. Bodin mendukung kerajaan tersebut menentang faksi-faksi itu dengan berpegang pada kedaulatan, karena kedaulatan merupakan esensi dari masyarakat sipil yang membawa muatan kewenangan hukum.
5. Teori Konflik Thomas Hobbes
Pemikiran Hobbes didasari pada pandangannya yang menerima konsepsi materialistik tentang manusia. Semua pemikiran tentang manusia dimulai dengana rasa dan sesuatunya berasal dari ingatan, mimpi dan pandangan. Dalam bertingkah laku diperlihatkan dua macam gerak, yaitu (a) sesuatu hal yang penting (darah dan nafas), (b) keinginan dan keengganan atau kehendak.
Dorongan utama manusia bertindak adalah keinginan yang terus menerus dan kegelisahannya akan kekuasaan setelah berkuasa, artinya rasa ingin berkuasa manusia berhenti bilama sudah masuk liang kubur, karena keinginan untuk berkuasa adalah sesuatu hal yang tak pernah mengalami kepuasan.

B. Teori Konflik Era Modern
Pendekatan konflik berakar pada pandangan Karl Marx mengenai masyarakat. Pendekatan ini kemudian diperkaya oleh Max Weber dan George Simmel. Yang selanjutnya dikembangkan antara lain oleh Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, Jonathan Turner dan pemikir lainnya.
1. Karl Marx (1818-1883)
Menurut Karl Marx, masyarakat secara fundamental terbagi atas kelas-kelas. Mereka selalu bertentangan untuk memperjuangkan kepentingan kelas masing-masing. Karena itu sejarah umat manusia hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan konflik di antara kerlompok-kelompok ekonomi dalam masyarakat. Pada umumnya kelompok ekonomi yang kuat adalah mereka yang memiliki kekuasaan.
2. Max Weber (1864-1920)
Pemikiran utama Weber tentang konflik didasarkan pada pandangan bahwa:
a. Perbedaan bentuk konflik yang menimbulkan sistem stratifikasi beraneka ragam (kelas, status dan kekuasaan).
b. Negara memiliki posisi sebagai agen yang mengontrol cara penggunaan kekerasan yang mengeser perhatian dari konflik ekonomi ke konflik negara.
3. Georg Simmel (1858-1918)
Konflik tidak akan pernah lenyap dari panggung kehidupan masyarakat, kecuali lenyap bersamaan dengan lenyapnya masyarakat.
4. Ralf Dahrendorf
Dahrendorf berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan. Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan Teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat.
5. Lewis A. Coser
Konflik sosial adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan tetapi juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.
Lewis Coser memberikan tangggapan adanya fungsi positif dari konflik, yaitu :
a. Meningkatkan soliditas sebuah kelompok yang kurang kompak.
b. Menggugah warga yang semula pasif untuk kemudian memainkan peran tertentu secara lebih aktif.
6. Jonathan Turner
Jonathan Turner menguraikan proses terjadinya konflik terdiri atas Sembilan tahap, yaitu :
a. Sistem sosial tersusun atas sejumlah unit yang saling tergantung satu sama lain.
b. Ada ketidaksamaan distribusi mengenai sumber-sumber langkah yang bernilai di antara unit-unit tersebut.
c. Unit-unit yang menerima pembagian sumber-sumber secara tidak proporsional mulai mempersoalkan legitimasi dari sistem sosial yang ada.
d. Masyarakat yang tidak berpunya mulai menyadari bahwa ada kepentingan bagi mereka untuk mengubah sistem lokasi sumber-sumber yang ada.
e. Mereka yang tidak berpunyai mulai menjadi emosional.
f. Secara berkala muncul ledakan frustrasi, seringkali tidak terorganisasi.
g. Intensitas keterlibatan mereka dalam konflik semakin meningkat dan keterlibatan tersebut semakin emsosional.
h. Berbagai upaya dibuat untuk mengorganisasikan keterlibatan kelompok tak berpunya dalam konflik tersebut.
i. Akhirnya, konflik terbuka dalam berbagai tingkat kekerasan terjadi diantara mereka yang tidak berpunya dan mereka yang berpunya.
7. Leopolod Von Wiese
Konflik sosial merupakan suatu proses sosial di mana orang peorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik terdiri atas :
a. Perbedaan individual
b. Perbedaan kebudayaan
c. Perbedaan kepentingan
d. Perubahan sosial.
8. Duane Ruth – Heffelbower
Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan “posisi” yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan atau tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri, atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil.
Heffelbower memberikan uraian bahwa untuk mengatasi konflik dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut :
a. Paksaan/koersi
Cara ini dilakukan dengan memaksa para pihak berkonflik untuk mengadakan perdamaian. Paksaan ini dilakukan secara psikologis maupun fisik. Paksaan secara fisik dilakukan apabila paksaan secara psikologis belum mampu menyelesaikan konflik.
b. Arbitrasi
Arbitrasi merupakan proses untuk mengatasi konflik dengan melalui pihak tertentu yaitu arbitrator (wasit). Pihak ini dipilih secara bebas oleh pihak berkonflik.
c. Mediasi
Mediasi sebagai salah satu penyelesaian konflik dilakukan dengan menggunakan pihak ketiga yang memiliki hubungan baik dengan para pihak yang berkonflik.
d. Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian konflik atas insiatif pihak-pihak yang berkonflik. Kedua belah pihak melakukan pembicaraan dalam bentuk tawar menawar mengenai syarat-syarat mengakhiri konflik.
9. Randall Collins
Randaal Collins dalam teorinya tentang Stratifikasi Konflik berrangkat dari suatu asumsi bahwa orang dipandang mempunyai sifat sosial, tetapi juga terutama mudah berkonflik dalam hubungan sosial mereka. Konflik terjadi dalam hubungan sosial karena penggunaan kekerasan yang selalu dapat dipakai seseorang atau banyak orang dalam lingkungan pergaulan.
Pendekatan konflik terhadap stratifikasi dapat diturunkan menjadi tiga prinsip, yaitu; (a) orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri, (b) orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu, (c) orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akibatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik antar individu.

2 komentar: