Sabtu, 12 Februari 2011

tragedi masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dewasa ini kehidupan masyarakat Indonesia dilanda krisis dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang ekonomi ditandai oleh adanya praktek monopoli (penguasaan asset kekuasaan oleh segelintir orang), persaingan yang tidak sehat, saling menipu, korupsi dan kolusi. Dalam bidang politik ditandai oleh adanya konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang, pemerintahan yang otoriter dan kurang berkembangnya semangat musyawarah.
Krisis dalam bidang sosial ditandai oleh adanya kesenjangan sosial, kurang harmonisnya hubungan antara sesame bangsa dan disintegrasi nasional. Dalam bidang hukum ditandai oleh adanya diskriminasi penegah hokum dalam memperlakukan masyarakat yang memerlukan bantuan hukum cenderung berpihak kepada yang lebih kuat, kurang menegakkan keadilan dan sebagainya. Dalam bidang kebudayaan ditandai oleh adanya kebudayaan hedonistik, mengabdi kepada pemuasan hawa nafsu dan bebas nilai. Sementara dalam bidang ilmu pengetahuan ditandai oleh adanya dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama yang melahirkan manusia yang haus akan kekuasaan dan kepentingan. Pikiran selalu dirasuki hawa nafsu selalu ingin mencapai apa yang diinginkan meskipun harus merampas hak-hak orang lain.
Suatu kenyataan tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju, yaitu adanya kontradiksi-kontradiksi yang menganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Apa yang dahulu belum dikenal manusia, kini sudah tidak asing lagi baginya. Bahaya kelaparan dan penyakit menular yang dahulu sangat ditakuti, sekarang telah dapat dihindari. Kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya alamiah yang dahulu menyulitkan dan menghambat pembangunan, sekarang tidak menjadi soal lagi. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya.
Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya, akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material terganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.

Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan suatu ilmu pengetahuan dan teknologi canggih yang diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan, namun pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu menumbuhkan moralitas (akhlak) yang mulia, bahkan justeru sebaliknya apa yang ilmu pengetahuan yang sifatnya sekuler dari dunia barat cenderung membentuk karakter dan jiwa yang resah, renggut dan rusak (Andi Agustang, 2009;12).
Saat ini di Indonesia, gejala kemerosotan akhlak sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang yang dulunya masih nampak kokoh dan kuat mewarnai perilaku masyarakat, kini sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan dan saling merugikan. Adu domba, fitnah, perampasan hak orang lain dan perbuatan lainnya yang berujung pada konflik, setiap waktu menjadi pewarna pergaulan hidup masyarakat.
Gejala kemorosotan akhlak tersebut, dewasa ini bukan saja menimpa kalangan dewasa, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar tunas muda generasi bangsa. Orang tua, ahli didik dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak mengeluhkan terhadap perilaku sebagian pelajar yang berperilaku nakal, keras kepala, mabuk-mabukan, tawuran, pesta obat-obatan terlarang yang berjung pada gaya hidup hedonis seperti di Eropa dan Amerika.
Gejala ini merupakan suatu tragedi dalam kehidupan masyarakat dan disebabkan oleh berbagai faktor yang kini mempengaruhi cara berpikir masyarakat seperti kebutuhan hidup yang semakin meningkat, rasa individualistis dan egoistis, persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama (Zakiah Drajat, 1984:88).
Sejalan dengan fenomena sosial yang diungkap di atas, penulis akan mencoba memberikan solusi untuk mengatasi tragedi masyarakat modern dengan menfokuskan kajian pada upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan agama melalui konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan sekaligus sebagai solusi membentuk akhlak bangsa yang berakal dan berperadaban.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam tulisan ini dibatasi pada pengungkapan tragedi masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa serta merumuskan konsep penanganan tragedi tersebut.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui tragedi perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa.
b. Untuk mengetahui hal-hal yang dilakukan dalam menangani perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa.
2. Kegunaan Penulisan
a. Sebagai prasyarat/pengganti ujian semester pertama PPS UNM mata kuliah filsafat ilmu.
b. Sebagai tambahan literature dala ilmu pengetahuan (terutama sosiologi) terutama menyangkut perilaku masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Tragedi Perilaku Masyarakat Modern dan Moralitas Generasi Bangsa
1. Tragedi Perilaku Masyarakat Modern
Giddens (1991:32) mendefenisikan dunia modern sebagai dunia refleksif, artinya diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah dan dibentuk. Tak hanya individu bertanggungjawab untuk menciptakan dan memelihara kedirian, tetapi tanggung jawab ini pun berlanjut dan mencakup semuanya (all perpasive). Diri adalah produk dari eksplorasi dan produk dari perkembangan hubungan sosial yang intim. Dalam kehidupan masyarakat modern manusia tertarik ke dalam sebuah organisasi refleksif kehidupan sosial.
Dunia modern menimbulkan keterasingan pengalaman (sequestration of experience) atau proses yang berkaitan dengan penyembunyian yang memisahkan rutinitas kehidupan sehari-hari dari fenomena-fenomena sosial seperti kegilaan, kriminalitas, penyakit dan kematian serta seksualitas. Keterasingan terjadi sebagai akibat dari meningkatnya peran sistem abstrak dalam kehidupan sehari-hari. Keterasingan ini membawa kepada rezeki yang mengesampingkan kehidupan sosial dari masalah eksistensial fundamental yang menimbulkan dilema moral bagi umat manusia.
Modernitas dengan segala konsekuensinya seperti pedang bermata dua, yaitu membawa perkembangan positif dan negatif yang melandasi munculnya bayangan ancaman ketidakberartian pribadi. Segala sesuatu yang berarti telah diasingkan dari kehidupan sehari-hari yang berujung pada penindasan diri pribadi. Kehidupan modern adalah kehidupan yang ditandai dengan adanya de-moralisasi, moralisasi yang tersingkir diganti dengan pola perilaku yang bertentangan dengan nurani manusia secara umum.
Perilaku masyarakat yang muncul dalam dunia kemodernan mengarah pada tranformasi keintiman yang terus menerus menuju pada keintiman tanpa adab atau biasa diistilahkan dengan kebebasan seksual. Tatanan kehidupan masyarakat yang dulunya rapi, tertib dan teratur, kini telah rapuh dan hilang oleh suatu kemodernan, layaknya seperti di negara barat yang tidak mengenal lagi ruang dan waktu. Paling mengkhawatirkan lagi karena kondisi ini memasuki kehidupan masyarakat yang bukan hanya berada di daerah perkotaan tetapi juga sudah merambah ke daerah-daerah pedesaan, akibatnya masyarakat semakin menikmati hidup dengan bebas.
Perilaku seperti di atas oleh Abuddin Nata sudah dianggap sebagai suatu tragedi perilaku masyarakat modern karena sudah di luar kezaliman nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang yang dulunya masih nampak kokoh dan kuat mewarnai perilaku masyarakat, kini sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan dan saling merugikan. Adu domba, fitnah, perampasan hak orang lain dan perbuatan lainnya yang berujung pada konflik, setiap waktu menjadi pewarna pergaulan hidup masyarakat.

2. Moralitas Generasi Bangsa
Dalam pacuan adab dan teknologi yang terus berlangsung dengan cepat seperti di era modern ini, permasalahan etika dan moral semakin mendapat perhatian serius oleh berbagai kalangan, baik di negara-negara maju maupun di Negara-negara yang sedang berkembang. Etika dan moral oleh ahli barat sering disebut sebagai akar dari spiritualisme, diyakini sebagai panduan dari rambu-ramnbu yag efektif bagi umat manusia di dalam menjalankan kehidupan agar tidak terjerumus ke dalam kehancuran, sebab etika dan moral mencegah manusia memperturutkan hawa nafsunya.
Nilai-nilai yang dibawa oleh standar etika dan moral itu sesungguhnya sangat baik. Demokrasi menghargai perbedaan di dalam masyarakat sehingga rejim otoriter tidak ada tempatnya di muka bumi ini. Prinsip HAM menempatkan seluruh umat manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama di muka bumi ini sedangkan tata kelola perusahaan berisikan standar pengelolaan perusahaan yang hati-hati, taat aturan dan transparan.
Namun dibalik perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibungkus dengan kemodernan mampu meretas kekakuan bergaul generasi muda (remaja) secara umum. Mereka diperhadapkan pada gaya hidup modern yang tidak lagi berprinsip pada etika dan moral, mereka bergaul dan berinteraksi dengan mengedepankan prinsip pola hidup orang barat, yang tidak mengenal lagi saling menghargai. Prinsip-pinsip humanistik dalam bentuk menghormati orang tua tidak lagi nampak di kehidupan generasi. Mereka larut dalam kehidupan bebas, material, dan komsumsif.

B. Usaha yang Dilakukan dalam Mengatasi Tragedi Perilaku Masyarakat Modern dan Moralitas Generasi Bangsa

1. Pengenalan Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa yang sudah berada pada ambang mengkhawatirkan akan membuka peluang terbentuknya manusia yang tidak beradab dan buta moralitas, apalagi diwarnai dengan perilaku penyimpangan yang terkadang mengarah kepada kekerasan maupun konflik. Oleh karena itu harus ada solusi yang ditawarkan guna meredam masalah ini, yaitu dengan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respons terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena ilmu pengetahuan yang lahir dalam kerangka pendidikan Barat bertumpu suatu pandangan dunia yang bersifat materialistis dan relativistis yang menganggap bahwa ilmu bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia dank arena itu hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif dan bukan harmonis.
Islamisasi ilmu pengetahuan mencoba mencari akar-akar tragedi perilaku masyarakat modern dan krisis moralitas generasi bangsa yang dapat ditemukan di dalam basis ilmu pengetahuan, yaitu konsepsi atau aumsi tentang realitas yang dualitistis dan sekularitas.
Abuddin Nata (2003:96) merangkai Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai suatu upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi atau penafsiran Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam. Selain itu Islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai reaksi terhadap adanya konsep dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dimasukkan masyarakat Barat dan budaya masyarakt modern. Mereka memandang sifat, metode, struktur sains dan agama jauh berbeda. Agama mengasumsikan atau melihat sesuatu persoalan dari segi normative sedangkan sains meneropongnya dari segi onyektifnya. Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui eksperimen dan rasio manusia. Karena ajaran agama diyakini sebagai petunjuk Tuhan, kebenaran dinilai mutlak sedangkan kebenaran sains relatif. Agama banyak berbicara yang gaib sedangkan sains berbicara mengenai hal yang empirik.
Pengembangan ilmu seperti ini dinamakan Ilmu Tauhidullah (Andi Agustang, 2009:25) yang dibedakan atas tiga, yaitu:
1) Wahyu (Al Qur’an dan Hadits yang dituangkan dalam bentuk nas-nas).
2) Wahyu-wahyu ini pulalah yang memandu inferensi ke arah mana premis-premis itu didesuksi.
3) Hasil deduksi, setelah verifikasi (berdasarkan data pada data-data empirikal) perlu divalidasi kembali oleh nas-nas Al Qur’an dan Hadist.

Persepsi lain yang dimunculkan dalam tulisan ini sejalan dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah kecerdasan transendental. Transendental secara harfiah berarti sesuatu yang teramat penting, hal-hal yang di luar kemampuan manusia biasa untuk memahaminya. Sedangkan kecerdasan transendental kemampuan umat manusia secara individu dan kolektif (berjamaah) untuk memahami dan melaksanakan aturan Tuhan untuk mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan dunia akherat.
Ketika kita berbicara transendental, maka kita berbicara tentang dimensi Ketuhanan. Yang berlaku adalah aturan dan ketentuan Tuhan, bukan lagi sekedar nilai-nilai kebaikan atau norma-norma kehidupan dalam perpektif manusia. Bukan pula sekedar etika dan nilai-nilai moral dalam HAM, tetapi semuanya di bawa ke dimensi yang lebih tinggi untuk mendapatkan pengesahan benar dan salah, karena aturan dan ketentuan Tuhan, maka itulah kebenaran yang berlaku di alam semesta tidak hanya di muka bumi semata.
Kecerdasan transedental memposisikan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan sehingga ada aturan-aturan tuhan yang harus diikuti. Kita berbicara tentang agama yang memuat aturan-aturan Tuhan dalam kitab sucinya. Logika kehidupan adalah segala sesuatu yang ada di dunia harus tunduk patuh kepada aturan dari yang menciptakannya. Ketika manusia menciptkan pesawat terbang, maka ada aturan-aturan atau prosedur bagi pesawat terbang untuk bisa terbang, mendarat dengan mulus, ketentuan perawatan dan seterusnya.
Dalam perspektif sejarah, sains dan teknologi modern yang telah menunjukkan keberhasilanya dewasa ini mulai berkembang di Eropa dalam rangka renaissance yang berhasil menyingkirkan peran agama dan mendobrak dominasi gereja Roma dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat Eropa sebagai sikap gereja yang memusuhi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat mengalami perkembangan setelah memisahkan diri dari pengaruh agama.
Dalam perkembangannya, sains dan teknologi modern dipisahkan dari agama, karena kemajuannya yang begitu pesat di Eropa dan Amerika sampai sekarang ini selanjutnya digunakan untukmengabdi kepad kepentingan manusia semata-mata, yaitu untuk tujuan memuaskan hawa nafsunya, menguras isi alam untuk tujuan memuaskan nafsu konsumtif dan materialistic, menjajah dan menindas bangsa-bangsa yang lemah, melanggenakn kekuasaaan dan tujuan-tujuan destruktif lainnya. Penyimpangan dari tujuan penggunaan ilmu pengetahuan inilah yang direspon pula dengan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu barat yang meninggalkan unsur agama adalah suatu kekeliruan, karena ilmu termasuk perintah Allah SWT, yang harus dilakukansejauh kemampuan individu. Ilmu termasuk ciptaan Allah SWT, berupa firman Allah yang tidak berubah-ubah sepanjang zaman. Ini adalah kebenaran yang diperintahkan kepada manusia untuk mengungkapkannya. Segala yang menyimpang daripadanya adalah kekeliruan, baik itu kekeliruan dalam bentuk besar maupun kecil termasuk keberadaan ilmu barat yang tidak berpedoman pada agama (Andi Agustang, 2009;23).

2. Strategi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Konsep ajaran Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan didasarkan pada beberapa prinsip, yaitu:
a. Ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi.
Teologi bukan hanya semata-mata meyakini adanya Tuhan dalalm hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teknologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam perihal hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya.
Teologi yang memunculkan kesadaran yakni suatu matra yang paling dalam diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu, karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis. Dengan pandangan teologi ini, maka alama raya, manusia, masyarakat dan Tuhan merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan. Alam raya terikat oleh hukum alam yang dalam pandangan Islam adalah sunnatullah, aturan Allah dan ayat Allah.
Alam raya ini selanjutnya menjadi objek kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam (sains) seperti ilmu fisika, biologi dan sebagainya. Demikian pula manusia dalam pandangan Islam adalah merupakan ciptaan Allah. Secara fisik manusia terikat oleh sunnatullah dan secara psikis ia terikat oleh nilai-nilai ilahiah atau kecenderungan kepada agama dan kebenaran.
Dengan demikian manusiapun merupakan ayat Allah. Orang yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Manusia ini secara ontologis sebagai objek kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dari segi fisiknya dan sebagai objek kajian ilmu psikologi dari segi jiwanya dan ilmu-ilmu sosial dari segi perilaku dan interaksinya dengan sesama manusia lainnya. Dengan demikian manusia adalah sebagai miniatur alam (makrokosmos) yang di dalam dirinya Tuhan menunjukkan kekuasaannya. Selanjutnya masyarakat tempat manusia saling berinteraksi juga terikat oleh hukum-hukum Allah. Dan Tuhan itu sendiri dalam pandangan Islam adalah merupakan sumber yang dari pada-Nya manusia memperoleh pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

b. Ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan beribadah kepada Allah SWT.
Hal ini penting dilakukan karena dorongan Al Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan perhatian dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Menyesuaikan motivasi pengembangan ilmiah dengan ajaran Islam selain akan meningkatkan kunatitas dan kualitas ilmiah karena motivasi utama tidak tidak untuk mendapatkan popularitas dan imbalan materi atau sekedar ilmu untuk ilmu , melainkan pengembangan ilmu yang didorong oleh keikhlasan dan rasa tanggung jawab kepada Allah. Motivasi pengembangan ilmu yang sejak dahulu dipraktekkan oleh para ilmuwan Muslim seperti Al Farabi, Ibn Rusyd, Ibnu Sina dan lainnya itu hendaknya dijadikan pegangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak akan digunakan untuk tujuan-tujuan yang membahayakan dan merugikan manusia serta lainnya bertentangan dengan kehendak Tuhan.

c. Reorientasi pengembangan ilmu pengetahuan harus dimulai denga suatu pemahaman yang segera dan kritis atas epistimologi Islam.
Perubahan harus ditafsirkan dalam rangka struktur fisik luarnya dan infrastruktur dari gagasan epistimologi Islam yang abadi harus dipulihkan dalam keseluruhannya. Dalam kaitan ini, maka pengembangan ilmu pengetahuan dalam bentuk lahiriyahnya, jangan sampai menghilangkan makna spiritualnya yang abadi, yakni sebagai alat untuk menyaksikan kebesaran Tuhan.
Roger Garaudi misalnya mengataka bahwa setiap ilmu di samping memiliki makna intelegible (dapat dipikirkan), juga mengandung makna sensible (dapat dirasakan). Angka satu misalnya adalah merupakan permulaan perhitungan yang melambangkan adanya Tuihan sebagai awal segala sesuatu.

d. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan akal dengan kecerdasan moral yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.
Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad klasik di mana para ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi senantiasa taat beribadah kepada Allah dan memiliki kesucian jiwa dan raga.
Mereka menulis karya ilmiah sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Sedangkan membahasa berbagai masalah ilmu pengetahuan dinilainya sebagai tasbih. Mereka memelihara dirinya dari perbuatan dosa dan hal-hal lain yang dilarang oleh Allah, bahkan jika mereka mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu masalah, mereka mengatasinya dengan shalat, berdo’a dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mohammad Athoyah Al-Abrasyi misalnya menginformasikan tentang kebiasaan Ibn Sina jika menemui kesulitan ia pergi ke mesjid kemudian berwudhu, shalat (hajat) dan berdoa hingga sesuatu yang menutupi kecerdasannya dapat tersingkap.
Kebiasaan yang senantiasa menjaga kesumeningcian jiwa dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan juga dilakukan oleh Imam Syafi’I dan pernah berkata : “aku mengeluh kepada guru bernama waqi karena betapa sulitnya aku menguasai pelajaran. Guruku itu menyarankan kepadaku agar aku meninggalkan perbuatan maksiat dan mengajarkan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan orang yang berbuat maksiat.

e. Ilmu Pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integaral.
Integral yang dimaksud yaitu antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun hakikatnya sama, yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaaan Allah. Dengan pandangan yang demikian, maka tidak ada lagi perasaan yang merasa lebih unggul antara satu dengan yang lainnya.
Ilmu agama berkaitan dengan pembinaan mental, moral dan ketahanan bathin. Sedangkan ilmu-ilmu umum berkaitan dengan pembinaan fisik, intelektual dan keterampilan. Satu sama lain ilmu tesebut berasal dari Allah dan harus diabdikan kepada Allah.
Dengan menerapkan strategi pengembangan ilmu pengetahuan berbasis Agama (Islam) maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna untuk mengatasi problema kehidupan masyarakat modern, dengan alasan :
1. Ilmu pengetahuan tersebut akan terus berkembang dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, karena hanya ajaran Islamlah ajaran yang paling mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Masyarakat modern akan mendapatkan momentum kejayaan dan kesejahteraan yang seimbang antara kesejahteraan yang bersifat material dan kesejhateraan yang bersifat spiritual.
3. Masyarakat modern akan merasakan tumbuh menjadi suatu kekuatan yang antara satu dengan lainnya saling membantu melalui ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
4. Islamisasi ilmu pengetahuan akan berdampak pada timbulnya konsep pendidikan yang integrated antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan cara demikian dikotomi kedua ilmu tersebut akan hilang dengan sendirinya.































BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Tragedi perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa adalah merupakan perilaku dan moral yang tidak sesuai dengan agama, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, seperti penyelewengan, penipuan, penindasan dan saling merugikan, adu domba, fitnah, perampasan hak orang lain dan perbuatan lainnya yang berujung pada konflik, serta krisis moral/dekadensi moral pada generasi bangsa.
2. Hal-hal yang dilakukan dalam menangani perilaku masyarakat modern dan moralitas generasi bangsa adalah dengan melakukan Islamisasi Ilmu Pengetahuan karena penyebab dari tragedi perilaku dan moralitas inilah adalah terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan barat yang hanya mengejar kesenangan dunia. Sementara dengan mengIslamisasikan ilmu pengetahuan maka akan mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat.

B. Saran-saran
Sehubungan dengan tulisan ini, maka disarankan kepada:
1. Kaum akademisi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menjadikan Islam sebagai landasan dan dasar pijakan yang utama, karena ilmu yang bersumber dari Islam adalah ilmu yang hakiki dan berlaku sepanjang zaman.
2. Pembaca makalah ini agar mulai dari sekarang untuk respon terhadap tulisan-tulisan yang bertemakan Keislaman dan mengamalkannya guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.



















DAFTAR PUSTAKA


Agustang, Andi. 2009. Ilmu Barat Vs Ilmu Tauhidullah; Bahan Kuliah PPS UNM Pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu.

Drajat, Zakiah. 1984. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Ruhama. Jakarta.

Giddens, Anthony. 1991. Modernitas dan Identitas Diri. Stanford University Press. California.

Hanafi, Hassan. 1991. Agama. Ideologi dan Pembangunan. P3M. Jakarta.

Nata, Abuddin. 2003. Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Kencana. Jakarta.

Ritzer G dan Douglas J.G. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.

Syahmuharnis dan Harry Sidharta. 2007. Trancendental Quotient. Republika. Jakarta.

KRITIK TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL DI INDONESIA

KRITIK TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL
DI INDONESIA

Kekuatan Sosial yang Berperan dalam Perkembangan Teori-teori Sosial
Ilmu-ilmu sosial dalam sejarah perkembangannya menguraikan bahwa terjadinya perubahan sosial di Eropa berupa revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial di Perancis pada abad 19 dan 20 mengakselerasi lahirnya ilmu sosial. Revolusi industri bukan kejadian tunggal, tetapi merupakan berbagai perkembangan yang saling berkaitan yang berpuncak pada transformasi dunia barat dari corak sistem pertanian menjadi sistem industri. Banyak orang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Pabrik itu sendiri telah berkembang pesat berkat kemajuan teknologi.
Birokrasi ekonomi berskala besar muncul untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh industri dan sistem ekonomi kapitalis. Harapan utama dalam ekonomi kapitalis adalah sebuah pasar bebas tempat memperjualbelikan berbagai produk industri. Di dalam sistem ekonomi kapitalis inilah segelintir orang mendapatkan keuntungan sangat besar sementara sebagian besar orang lainnya yang bekerja membanting tulang dalam jam kerja yang panjang, menerima upah yang rendah.
Situasi seperti itulah mendorong munculnya reaksi menentang sistem industri dan kapitalisme pada umumnya yang diikuti oleh ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal lain yang bertujuan menghancurkan sistem kapitalis dan berujung pada pergolakan dahsyat dalam masyarakat eropa. Pergolakan ini pula yang mendorong para sosiolog (Marx, Weber, Durkheim dan Simmel) untuk mempelajari masalah tersebut dan menghabiskan waktunya untuk mengembangkan program yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga muncullah istilah “sosialisme”, sebagai jawaban atas sistem kapitalisme yang dianggap meresahkan masyarakat di era industri.
George Berkeley (1713) menulis essai ilmu sosial bertajuk De Motu, yang berupaya melacak analogi antara dorongan tindakan fisik dalam dunia material dan dorongan moral dan dimensi psikologis dalam masyarakat. Ibarat tata surya yang saling tarik menarik satu sama lain, demikian juga halnya dengan manusia. Kekuatan tarikan moral menarik seperti kekuatan alam, manusia terdekat akan semakin kuat tarikannya. Pada saat yang sama juga terjadi fluktuasi tarikan pada manusia seperti kekuatan sentrifugal yang terjadi pada sistem tata surya.
Upaya semacam itu dalam konteks ilmu sosial dianggap premature. Karena untuk mencapai kemapanan ilmu sosial penting, paling tidak ada dua kondisi dasar yang wajib dipenuhi sebelum ilmu social dapat muncul, yaitu: (1) naturalism, yaitu doktrin yang menjelaskan bahwa semua gejala dapat dijelaskan dalam logika sebab akibat (cause and effect), (2) sistem evaluasi etis harus diminimalkan atau diabaikan sama sekali. Hal itu diperlukan agar gejala sosial tidak terkekang dalam persoalan nilai.
Para pemikir ilmu sosial terdahulu telah banyak memunculkan ide dan gagasan yang masih lazim digunakan oleh pemikir-pemikir sekarang, walaupun pada hakikatnya banyak menimbulkan pertentangan antara pemikir itu sendiri. Dengan berlandasakan pada beberapa proposisi utama yang rasional dan natural dalam ilmu sosial seperti; (1) pikiran merupakan perangkat yang secara universal dimiliki manusia, (2) hakikat manusia sama secara universal, (3) lembaga dibangun oleh manusia, bukan manusia ada untuk lembaga, (4) kemajuan merupakan hukum utama masyarakat serta (5) gambaran ideal manusia merupakan realisasi dari kemanusiaan itu, banyak memberikan inspirasi bagi teoritisi sekarang untuk mengembangkan konsep ilmu sosial baru.

Kritik Terhadap Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia
Ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia disebabkan oleh; Pertama, harus dilacak sejak Orde Baru berkuasa. Hal itu ditandai oleh dilarangnya Marxisme sebagai mata ajaran di seluruh jenjang pendidikan. Ini sangat penting karena, anda tidak bisa belajar teori dengan benar dalam suasana akademik yang tidak demokratis. Misalnya, ketika pengajar mengatakan, Marxisme itu berbahaya, teori kelas itu tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, para murid tidak bisa bertanya “kenapa berbahaya dan kenapa tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia?” Sekali murid bertanya, maka pengajar langsung curiga, “jangan-jangan si murid ini dari keluarga atau ada hubungan keluarga dengan orang-orang PKI.” ?
Katakanlah, si pengajar orang yang bijaksana dan terbuka pada pertanyaan seperti itu. Dan ia mau mendiskusikannya di ruang kelas, apa yang terjadi? Si pengajar dipanggil oleh atasannya, di cek “kebersihan dirinya,” lalu di wanti-wanti. Gila juga kan? Celakanya, larangan itu masih berlaku hingga kini, masa dimana orang berbusa-busa bicara demokrasi dan keterbukaan. Dan kita dapati, para intelektual yang menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa memperjuangkan secara sungguh-sungguh demokratisasi dunia pendidikan. Dan sangat lucu, bagaimana mereka bisa menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa sungguh-sungguh memahami apa itu Marxisme dan teori kelas, mendiskusikannya secara terbuka dan egaliter? Lantas, darimana mereka belajar Marxisme? Sembunyi-sembunyi di malam gelap? Pantas, jika ada joke, "salah satu tanda seorang intelektual, adalah dia berkacamata." Hah? Selain itu, pelarangan mata ajaran Marxisme membuat para intelektual dan calon intlelektual di Indonesia, terputus dari akar tradisi akademik yang sangat besar dan sangat dalam di dunia ini. Bagaimana anda bisa memahami teori Weberian, Parsonian, Schumpeterian, Keynesian, Dahlian atau bahkan Hayekian, tanpa memahami Marxian? Bagaimana anda bisa memahami, pandangan dunianya Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari atau Sayyid Qutb, tanpa memahami pandangan dunianya ilmuwan sekuler?
Perkembangan ilmu itu berlangsung secara dialektik, yang satu tidak mungkin berkembang tanpa yang lain, ia adalah hasil pergumulan tanpa henti, saling serang, saling kritik, yang satu mengafirmasi atau bahkan menegasi yang lain. Ilmu pengetahuan tak bisa berkembang atas nama yang suci, atau atas nama doktrin-doktrin yang turun dari langit.
Kedua, ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia, adalah tidak adanya penghargaan yang komprehensif terhadap para intelektual. Coba dengar kata almarhum. Soedjono, mantan orang kuat jaman Soeharto, “Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya,” (Tempo, 4-10/2/2008). Akibat turunannya, yang berlanjut hingga kini, tidak ada fasilitas perpustakaan yang lengkap, tidak ada mekanisme yang terukur dan teruji menyangkut peningkatan kualitas tenaga pengajar, tidak ada jurnal yang berbobot, tidak ada dukungan bagi penerbitan karya-karya akademik bermutu, serta tidak ada jaminan rasa aman bagi intelelektual dalam kerja-kerja akademiknya.
Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Arief Budiman cs dari universitas Satya Wacana, Salatiga, yang dipersona non gratakan, hanya karena mereka bersuara beda dengan kepentingan kekuasaan. Kasus paling anyar, tentu saja perlakuan keji terhadap almarhum Munir, yang dihabisi akibat kritik-kritiknya yang tajam. Dan hingga kini, kita masih saja mendengar, para intelektual yang bicara kritis, bisa segera di cap provokator, atau merusak suasana nyaman yang sangat dibutuhkan saat ini.
Ketiga, dua keadaan di atas telah membentuk budaya intelektual yang kering kerontang dan mentalitas cari aman serta penempuh jalan pintas. Kita tentu ingat dengan ungkapan ini, “karya terbesar intelektual di Indonesia, adalah disertasi doktoralnya.” Setelah itu, tak ada lagi, dan dalam waktu singkat mereka berbondong-bondong menjadi komentator atau menjadi manajer. Kita akan dengan mudah menemukan mereka lewat artikel-artikel yang bertaburan di media massa. Bahkan, ada yang secara spektakuler sanggup menulis lebih dari dua artikel berbeda dalam sehari di media yang berbeda. Kita juga akan mudah melihat wajah mereka di layar kaca, menjadi pembicara atau host. Kalau kita ikuti perdebatan mereka di layar kaca, kita akan segera tahu betapa pandainya mereka bermain kata-kata.
Profesi lain dari para intelektual ini adalah menjadi manajer kampanye politik dari kandidat yang mereka dukung atau yang membayarnya. Jika kandidat yang mereka dukung menang, mereka ikut dalam kereta kencana kekuasaan, menjadi juru bicara atau tukang bisik penguasa. Kita jadi bingung, mereka omong sebagai intelektual yang harus menimbang secara cermat setiap kata yang diucapkan dan ditulisnya, atau mereka menjadi tukang pembenar segala langkah yang ditempuh patronnya. Hari ini omong A, besok omong B.
Kondisi ini dengan telak mematahkan asumsi yang luas diyakini selama ini, bahwa kesulitan terbesar dari tidak lahirnya karya-karya bermutu dari intelektual di Indonesia, karena rendahnya imbalan material buat mereka. Boleh jadi benar bahwa gaji para intelektual itu sangat rendah dibandingkan dengan rekannya di Amerika, misalnya. Tapi, kita tahu persis, kini sebagian dari para intelektual itu menikmati pendapatan yang sangat besar, bahkan ada yang telah menjadi kaya-raya. Hampir semua dari intelektual yang bergelar doktor itu punya proyek, apakah dalam bentuk LSM atau lembaga think-tank. Tapi, apakah kemudian mereka menghasilkan karya bermutu?
Keempat, para teoritisi sosial hanya memberikan jawaban dan kritik terhadap teori-teori yang dikemukakan teoritisi lainnya, sehingga kadang-kadang mereka larut dalam pertentangan konsep yang berkepanjangan. Sebut saja misalnya antara ilmu sosial positif dan ilmu social kritis. Ilmu sosial positif berasumsi bahwa cara penjelasan yang dilakukan terhadap suatu obyek diberlakukan secara umum terhadap semua ilmu pengetahuan. Paradigma yang dikembangkan adalah nomologis dan ini tidak bisa diterima oleh ilmu sosial pada umumnya, terutama ilmu sosial kritis.
Cara ilmu ini selain nomologis adalah ahistoris, diterministik dan prohabilistik. Penjelasan terhadap suatu gejala biasanya dikaitkan dengan usaha meramalkan apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Semua kegiatan didalam ilmu sosial positif, dari pengumpulan data, penyempurnaan data, korelasi data, dan formulasi generalisasi, hipotesa dan pengembangan model-model penelitian, semuanya diarahkan untuk menguji teori yang dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah logika yang ditetapkan secara ketat.
Ilmu sosial kritis justru hadir menentang kaidah-kaidah keilmuan yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial positif, dan karena itu mudah menggoncang paradigma. Bila ilmu-ilmu sosial positif mempelajari perilaku manusia maka ilmu sosial kritis mempelajari aksi manusia dan melihat bahwa dunia sosial diciptakan melalui tindakan manusia dan pemahaman inter subyektif.
Ilmu sosial kritis mencoba memahami hubungan kondisi-kondisi sosial dengan tindakan subyektif manusia dengan berbagai macam kepentingannya. Karena hubungan antara kondisi sosial dan tindakan manusia itu sifatnya sangat rumit, maka ilmu sosial kritis tidak percaya dengan apa yang disebut prediksi. Karena hakekat masyarakat adalah pemahaman dan tindakan masyarakat itu sendiri maka secanggih apapun kondisi sosial itu diramalkan dan diatur dengan ketat sedemikian rupa, didalamnya pasti terdapat banyak kesalahan. Kalau konsep-konsep dan katagori-katagori ilmu sosial positif masih banyak kita gunakan sekarang, pada masa datang nanti sudah tidak dapat lagi. Kaum positivist beranggapan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah usaha mengembangkan disiplin ilmu yang dipelajari, tetapi tragisnya mereka justru melepaskan bagaimana proses-proses sosial itu tercipta.
Jika semua proses sosial dipahami sebagai produk tindakan manusia, maka semua pertimbangan kritis harus dimulai dari pemahaman, nilai-nilai, dan inter subyektif. Pengertian-pengertian, nilai-nilai dan motif-motif ini harus dikembangkan dengan proses-proses sosial dengan cara menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka dibangun oleh tindakan dan refleksi manusia.
Penjelasan-penjelasan kritis di dalamnya meliputi teori-teori dasar tentang perubahan struktural, nilai-nilai, pengertian-pengertian dan motif-motif yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan struktural. Perbedaan-perbedaan pemahaman tentang struktur sosial (meliputi kekuatan domianan dan kekuatan pinggiran) harus dikaji dalam teori kritis. Sebagai contoh suatu gagasan mobilitas sosial boleh jadi didukung oleh pengalaman personal golongan minoritas kapitalis, terutama di Amerika Serikat pada waktu itu. Konsep mobilitas sosial dalam prakteknya ternyata hanya memberikan keuntungan kaum kapitaslis belaka, sedang orang-orang golongan lemah justru semakin tersingkir karena kelemahannya secara ekonomis oleh penguasa kapitalis.
Konsep-konsep yang diciptakan oleh manusia ternyata dalam prakteknya dapat memberikan keuntungan bagi beberapa pihak dan merugikan beberapa pihak-pihak lainnya. Selama manusia yang mencari keuntungan ingin tetap mempertahankan posisi mereka sedang mereka yang tidak diuntungkan dengan sistim tersebut sengaja dibuat tidak paham agar terus menerus dapat dijadikan ajang dominasi. Ilmu sosial kritis hadir ditengah-tengah masyarakat dengan pertimbangan-pertimbangan kritis, ingin menyadarkan manusia yang tidur didunia mereka sendiri. Karena karakternya yang demikian, maka didalam dirinya senantiasa terkandung keinginan untuk melakukan perubahan, baik secara radikal atau tidak.
Perubahan-perubahan radikal terjadi karena adanya kontrakdisi-kontrakdisi dalam proses sosial, artinya ada pihak yang mencari keuntungan dan ada yang dirugikan dari haknya antar kelompok didalam ilmu sosial. Semua ini dapat dipahami lewat ideologi dan kondisi-kondisi sosial yang berkembang selama ini. Kontrakdisi fundamental akan terjadi apabila kepentingan-kepentingan sebagian fihak bertentangan terus menerus dengan kepentingan pihak lainnya, misalnya dalam satu sistim sosial yang memberlakukan praket-praket monopoli berhadapan dengan sistim kompetisi bebas. Satu kelompok atau kelompok yang tertindas di dominasi dalam sistim yang berkembang sekarang ini akan melakukan perlawanan dan melakukan perubahan sosial sebagaimana mereka kehendaki. Ini adalah perkara politik dan karena itu harus berkali-kali dijelaskan bahwa teori kritis memang tidak bisa dipisahkan dari politik praktis.
Sejauh mana pergolakan politik itu timbul tergantung pada derajad pertentangan kepentingan kaum progressive dengan para pemegang kekuasaan. Kalau kontradiksi yang terjadi tidak terlalu mendesak, pada umumnya dapat diselesaikan melalui cara damai tanpa harus membungkus ideologi dan struktur kekuasaan. Tetapi kalau kontradiksi itu sangat mendesak, tidak ada cara lain kecuali merombak ideologi dan struktur yang dianggap tidak mapan. Kapan kontradiksi fundamental itu akan terjadi tidak dapat diramalkan oleh ilmu sosial, sebab ini menyangkut kesepakatan manusia secara bersama-sama menghadapi ideologi dan struktur yang berkembang. Karena itu dapat dirumuskan bahwa tujuan teori kritis bukanlah untuk meramalkan perubahan sosial, melainkan memahami perkembangan sejarah masyarakat sehingga mereka melakukan perubahan sosial. Masuknya ilmu sosial kritis dalam percaturan politik praktis seperti dikatakan diatas kemudian membedakan para ilmuwan sosial positif disatu pihak dengan ilmuwan sosial kritis dilain pihak.
Ilmu sosial di Indonesia seperti di negara lain, oleh penulis dianggap tidak mengalami perkembangan seperti halnya dengan ilmu lain, misalnya ilmu alam. Walaupun perkembangannya tidak terlalu besar, tetapi dapat memberikan kontribusi berarti dalam pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Salah satu cabang ilmu sosial yang cukup signifikan dalam perkembangan ilmu sosial adalah sosiologi itu sendiri, di mana perkembangan terakhir ini muncul suatu isitilah baru dalam sosiologi, yaitu sosiologi profetik, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma ilmu sosial profetik (ISP). ISP dicetuskan oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan ilmu sosial yang mampu mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental. Sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini sekaligus menjawab teori positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos dan cerita rakyat (folk wisdom) yang belum tentu kebenarannya.
Uraian ini memberikan gambaran bahwa secara ontologi perkembangan ilmu sosial yang berkiblat ke dunia barat, dapat memberikan penguatan terhadap kelahiran konsep dan istilah baru ilmu sosial. Konsep terdahulu dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam merumuskan dan pengembangan teori-teori sosial modern, bahka lebih dari itu dijadikan sebagai konsep penanganan masalah-masalah sosial yang melanda semua negara di dunia.
Secara hipestemologi, ilmu sosial yang berkembang dsampai dewasa ini maish sering dipertentangkan, apakah bisa diistilahkan sebagai ilmu baru atau hanya sebuah kata yang mengandung unsur sastra. Pertanyaan ini masih melengkapi teka teki keilmiahan teori sosial. Pembentukan premis mayor dan minor yang seharusnya melandasi conclucion sebuah teori masih sering dipertanyakan, apakah sesuai dengan metode ilmiah atau hanya hanya sekadar pernyataan biasa.
Secara aksiologi, kekurangan perkembangan ilmu sosial di Indonesia yang mendapat inspirasi dari dunia luar yang kebarat-baratan (westernisasi) lebih mengutamakan unsur akal dan nafsu, sehingga melahirkan konsep yang berwarna liberal, kapital, dan humanis. Suatu konsep yang bertolak belakang dengan nilai dan norma kehidupan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi peradaban dan kesantunan dalam bermasyarakat. Namun dengan adanya terpaan angin liberal dan kapitalis yang begitu kencang, tatanan kehidupan Inondesia yang dulunya masih memegang teguh nilai dan norma, kini mulai terkikis dan terganti dengan budaya liberal dan kapitalis yang serba material dan hedonis.

















DAFTAR PUSTAKA



Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Rosda Karya. Bandung.

Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

Ritzer George dan D.J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Sosiologi. Bumi Aksara. Jakarta.

_______________. 1982. Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Teori Konflik dan Teori Struktural Funsgional

Perbedaan Teori Struktural Fungsionalisme dengan Teori Konflik

Teori struktural fungsionalisme atau pendekatan konsensus berakar pada pandangan-pandangan mengenai masyarakat yag dikemukakan oleh Auguste Comte, Emile Durkheim, Herbert Spencer dan Talcott Parsons. Selanjutnya dikembangkan oleh Robert K. Merton, Jeffrey C. Alexander dan Niklas Luhmann.
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsionalisme, yang berakar pada pandangan Karl Marx mengenai masyarakat dan diperkaya oleh Max Weber dan Georg Simmel, yang selanjutnya dikembangkan oleh Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dan Jonathan Turner. Teori struktural fungsionalisme dan teori konflik jika dibandingkan dari berbagai dimensi memiliki perbedaan, yaitu:
Dimensi Teori Struktural Fungsional Teori Konflik
Pandangan mengenai masyarakat Stabil, terintegrasi secara baik Ditandai oleh adanya ketegangan dan konflik antar kelompok
Pandangan mengenai individu Individu anggota masyarakat disosialisasi untuk menunjukkan fungsi sosialnya Individu anggota masyarakat diatur melalui kekuasaan, paksaaan, dan kewenangan
Pandangan mengenai tata sosial Tertib sosial terpelihara melalui kerja sama dan konsensus Tertib social terpelihara melalui kekuasaan, kekuatan dan paksaan
Pandangan mengenai perubahan sosial Statis, berubah secara seimbang, dapat diperkirakan Perubahan dapat terjadi di setiap waktu dan mungkin memiliki dampak positif
Konsep-konsep kunci Sistem sosial, keseimbangan, stabilitas, pembagian kerja, fungsi manifest, fungsi laten dan disfungsi sosial Kekuasaan, eksploitasi, persaingan kepentingan, ketidaksamaan social, penaklukan kelompok dan alienasi
Dimensi Teori Struktural Fungsional Teori Konflik
Tokoh perintis Auguste Comte, Emile Durkhkeim, Herbert Spncer Karl Marx, Max Weber, Georg Simmel
Tokoh penerus Talcott Parsons, Robert K. Merton, Jefrey C. Alexander, Niklas Luhmann Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, Joseph Hims, Jonathan Turner, Barrington Moore, Jeffrey Paige, Theda Sockpol
Sumber: diolah berdasarkan Ritzer & Goodman (2008:153) dan Nasikun (1992:11)

A. Teori Struktural Fungsionalisme
Menurut teori struktural fungsionalisme, masyarakat pada dasarnya meruakan jaringan dari bagian-bagian yang saling terkait, setiap bagisan menyumbang pada pemeliharaan sistem secara keseluruhan. Masyarakat pada dasarnya akan selalu bergerak kea rah interaksi yang mempersatukan (integrative). Integrasi merupakan bentuk dasar interaksi masyarakat.
Meskipun integrasi merupakan bentuk dasar masyarakat, namun tidak berarti dalam masyarakat tidak ada ketegangan-ketegangan antarwarga. Karena berbagai sebab, ketegangan dan konflik akan terus terjadi dalam masyarakat. Namun demikian, ketegangan dan konflik tersebut akan lenyap. Masyarakat akan kembali berada dalam keseimbangan. Hal ini terjadi karena dala setiap sistem sosial terdapat konsensus atau kesepakatan di antara warga masyarakat mengenai nilai-nilsi dasar yang menjadi pondasi sistem sosial. Konsensus itulah yang menjadikan warga masyarakat memiliki komitmen untuk mengatasi perbedaan dan konflik mereka.
Selain itu, keseimbangan juga dapat terwujud karena setiap sistem sosial memiliki mekanisme yang mengarahka keinginan-keinginan warga menuju terpeliharanya sistem sosial. Mekanisme sosial tersebut adalah sosialisasi dan kontrol sosial. Melalui sosialisasi, warga masyarakat belajar tentang norma-norma sosial yang berlaku.
Teori struktural fungsionalisme sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar, yaitu:
1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Dengan demikian hubunga pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya, hanya akan mencapai derajat yang minimal.
4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
5. Perubahan-perubaha di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
6. Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan: (a) penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar, (b) pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsionalisme, (c) penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7. Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar tertentu terhadap sebagian besar anggota masyarakat menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang mutlak benar.
Dengan cara lain dapat dikatakakan bahwa suatu sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut adalah apa yang dikenal sebagai norma-norma sosial yang pada akhirnya membentuk struktur sosial.

B. Teori Konflik
Menurut paham ini, konflik selalu terkait dengan kekuasaan. Dalam masyarakat selalu ada kelompok warga yang memiliki kekuasaan dan yang tidak. Dengan kata lain ada ketidakmerataan pembagian kekuasaan, Kedua kelompok ini memiliki kepentingan berbeda, kelompok pemilik kekuasaan berkepentingan untuk memelihara dan mengukuhkan pola-pola hubungan kekuasaan yang ada dan menguntungkan mereka. Sedangkan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan berkepentingan untuk mengubah pola-pola hubungan kekuasaan itu.
Pandangan teori konflik berpangkal tolak pada anggapan-anggapan dasar bahwa:
1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.
Perubahan social oleh para penganut faham ini tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, akan tetapi lebih daripada itu malahan dianggap bersumber di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat itu sendiri yang saling bertentangan.
Pendekatan konflik terhadap stratifikasi dapat diturunkan menjadi tiga prinsip, yaitu; (a) orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri, (b) orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu, (c) orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akibatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik antar individu semakin besar.
Pada dasarnya konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat terdiri atas sembilan tahap, yaitu :
1. Sistem sosial tersusun atas sejumlah unit yang saling tergantung satu sama lain.
2. Ada ketidaksamaan distribusi mengenai sumber-sumber langkah yang bernilai di antara unit-unit tersebut.
3. Unit-unit yang menerima pembagian sumber-sumber secara tidak proporsional mulai mempersoalkan legitimasi dari sistem sosial yang ada.
4. Masyarakat yang tidak berpunya mulai menyadari bahwa ada kepentingan bagi mereka untuk mengubah sistem lokasi sumber-sumber yang ada.
5. Mereka yang tidak berpunyai mulai menjadi emosional.
6. Secara berkala muncul ledakan frustrasi, seringkali tidak terorganisasi.
7. Intensitas keterlibatan mereka dalam konflik semakin meningkat dan keterlibatan tersebut semakin emsosional.
8. Berbagai upaya dibuat untuk mengorganisasikan keterlibatan kelompok tak berpunya dalam konflik tersebut.
9. Akhirnya, konflik terbuka dalam berbagai tingkat kekerasan terjadi diantara mereka yang tidak berpunya dan mereka yang berpunya.
Namun demikian tidak semua konflik mengarah pada akibat negative tetapi juga mempunyai fungsi-fungsi positif (konflik fungsional). Salah satunya adalah mengurangi ketegangan dalam masyarakat, serta mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial.

















DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Remaja Rosda Karya. Bandung.

Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

Ritzer George & Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern; Edisi Keenam, Diterjemahkan oleh Alimandan. Kencana. Jakarta.

Saptono & Bambang Suteng S. 2006. Sosiologi. Phibeta. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1982. Teori Sosiologi Tentang Peribadi dalam Masyarakat. Ghalia Indonesia. Jakarta.

________________. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar; Edisi Keempat. Rajawali Pers. Jakarta.

Suzan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-isu Kontemporer. Kencana. Jakarta.

Teori Konflik

TEORI KONFLIK

Istilah konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan. Menurut asal katanya istilah “konflik “ (conflict) berasal dari bahasa latin confligo, yang berarti bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang, berselisih, atau berperang (Saptono & Suteng, 2006).
Konflik diyakini merupakan suatu fakta utama dalam masyarakat. Konflik sosial biasanya dipahami sebagai suatu proses sosial disasosiatif atau saling bertentangan antarpihak. Dalam proses tersebut, masing-masing pihak berusaha saling menguasai atau sangat berpengaruh. Cara yang ditempuh bisa menggunakan kekerasan atau non kekerasan.
Konflik mempunyai fungsi-fungsi positif. Salah satunya adalah mengurangi ketegangan alam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambahdan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan social.
A. Teori Konflik Era Klasik
1. Teori Konflik Polybius
Dalam khasanah pemikiran Yunani kuno, para pemikir mengemukakan konflik sebagai suatu hal yang utama. Bahkan konflik dianggap sebagai sebagai fakta sosial yang mendasar. Pengembangan teori konflik pada zaman purba dilakukan oleh Polybius yang mencapai puncaknya pada tahun 205 – 125 SM. Polybius melihat konflik terjadi akibat penyebarluasan suatu wilayah yang dilakukan oleh pihak penguasa dan dilakukan secara paksa dan menggunakan kekuatan-kekuatan yang besar dan luar biasa.
2. Teori Konflik Ibn Khaldun (1332-1406 M)
Ibn Khaldun dipandang sebagai sosiolog sejati karena didasarkan pada pandangannya tentang beberapa prinsip pokok untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah termasuk di dalamnya timbul dan tenggelamnya negara-negara.
Faktor yang menyebabkan bersatunya manusia dalam suku-suku, negara dan sebagainya adalah rasa solidaritas atau hubungan antar masyarakat sebagai hasil peniruan dan pembauran. Menurut Ibn Khladun faktor-faktor inilah yang menyebabkan adanya ikatan dan usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan bersama yang terjadi antar manusia yang memberikan peluang terjadinya konflik.
3. Teori Konflik Machiavelli (1469-1527)
Karya populernya “The Princes” dan “Discourses on the First Ten Books of Livy”. Dalam karya ini diberikan gambaran bahwa hakikat manusia pada dasarnya adalah jahat “ manusia adalah jahat dan sesungguhnya manusia itu dengan mudah mempertunjukkan kekejamannya”.
Kehendak untuk menakukkan sesama manusia sebagai sesuatu hal yang dipandang alami. Manusia dapat berbuat baik hanya bilama mereka dalam keadaan terpaksa. Bilamana watak jahat itu disembunyikan pada waktu sesaat, hal ini hendaknya dianggap sebagai sesuatu hal yang tak tersadarkan dan pada sewaktu-waktu kita berada dalam kondisi kekurangan serta merta menunjukkan sifat aslinya yakni akan perbuatan jahat. “Kemiskinan dan rasa lapar membuat manusia itu menjadi rajin dan hokum membuat manusia itu memilih kesempatan untuk berbuat baik”.
4. Teori Konflik Jean Bodin (1530-1596)
Jean Bodin menulis bahwa melemahnya sistem kerajaan (Perancis) pada waktu itu disebabkan oleh konflik agama antar Katolik. Bodin mendukung kerajaan tersebut menentang faksi-faksi itu dengan berpegang pada kedaulatan, karena kedaulatan merupakan esensi dari masyarakat sipil yang membawa muatan kewenangan hukum.
5. Teori Konflik Thomas Hobbes
Pemikiran Hobbes didasari pada pandangannya yang menerima konsepsi materialistik tentang manusia. Semua pemikiran tentang manusia dimulai dengana rasa dan sesuatunya berasal dari ingatan, mimpi dan pandangan. Dalam bertingkah laku diperlihatkan dua macam gerak, yaitu (a) sesuatu hal yang penting (darah dan nafas), (b) keinginan dan keengganan atau kehendak.
Dorongan utama manusia bertindak adalah keinginan yang terus menerus dan kegelisahannya akan kekuasaan setelah berkuasa, artinya rasa ingin berkuasa manusia berhenti bilama sudah masuk liang kubur, karena keinginan untuk berkuasa adalah sesuatu hal yang tak pernah mengalami kepuasan.

B. Teori Konflik Era Modern
Pendekatan konflik berakar pada pandangan Karl Marx mengenai masyarakat. Pendekatan ini kemudian diperkaya oleh Max Weber dan George Simmel. Yang selanjutnya dikembangkan antara lain oleh Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, Jonathan Turner dan pemikir lainnya.
1. Karl Marx (1818-1883)
Menurut Karl Marx, masyarakat secara fundamental terbagi atas kelas-kelas. Mereka selalu bertentangan untuk memperjuangkan kepentingan kelas masing-masing. Karena itu sejarah umat manusia hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan konflik di antara kerlompok-kelompok ekonomi dalam masyarakat. Pada umumnya kelompok ekonomi yang kuat adalah mereka yang memiliki kekuasaan.
2. Max Weber (1864-1920)
Pemikiran utama Weber tentang konflik didasarkan pada pandangan bahwa:
a. Perbedaan bentuk konflik yang menimbulkan sistem stratifikasi beraneka ragam (kelas, status dan kekuasaan).
b. Negara memiliki posisi sebagai agen yang mengontrol cara penggunaan kekerasan yang mengeser perhatian dari konflik ekonomi ke konflik negara.
3. Georg Simmel (1858-1918)
Konflik tidak akan pernah lenyap dari panggung kehidupan masyarakat, kecuali lenyap bersamaan dengan lenyapnya masyarakat.
4. Ralf Dahrendorf
Dahrendorf berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan. Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan Teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat.
5. Lewis A. Coser
Konflik sosial adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan tetapi juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.
Lewis Coser memberikan tangggapan adanya fungsi positif dari konflik, yaitu :
a. Meningkatkan soliditas sebuah kelompok yang kurang kompak.
b. Menggugah warga yang semula pasif untuk kemudian memainkan peran tertentu secara lebih aktif.
6. Jonathan Turner
Jonathan Turner menguraikan proses terjadinya konflik terdiri atas Sembilan tahap, yaitu :
a. Sistem sosial tersusun atas sejumlah unit yang saling tergantung satu sama lain.
b. Ada ketidaksamaan distribusi mengenai sumber-sumber langkah yang bernilai di antara unit-unit tersebut.
c. Unit-unit yang menerima pembagian sumber-sumber secara tidak proporsional mulai mempersoalkan legitimasi dari sistem sosial yang ada.
d. Masyarakat yang tidak berpunya mulai menyadari bahwa ada kepentingan bagi mereka untuk mengubah sistem lokasi sumber-sumber yang ada.
e. Mereka yang tidak berpunyai mulai menjadi emosional.
f. Secara berkala muncul ledakan frustrasi, seringkali tidak terorganisasi.
g. Intensitas keterlibatan mereka dalam konflik semakin meningkat dan keterlibatan tersebut semakin emsosional.
h. Berbagai upaya dibuat untuk mengorganisasikan keterlibatan kelompok tak berpunya dalam konflik tersebut.
i. Akhirnya, konflik terbuka dalam berbagai tingkat kekerasan terjadi diantara mereka yang tidak berpunya dan mereka yang berpunya.
7. Leopolod Von Wiese
Konflik sosial merupakan suatu proses sosial di mana orang peorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik terdiri atas :
a. Perbedaan individual
b. Perbedaan kebudayaan
c. Perbedaan kepentingan
d. Perubahan sosial.
8. Duane Ruth – Heffelbower
Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan “posisi” yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan atau tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri, atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil.
Heffelbower memberikan uraian bahwa untuk mengatasi konflik dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut :
a. Paksaan/koersi
Cara ini dilakukan dengan memaksa para pihak berkonflik untuk mengadakan perdamaian. Paksaan ini dilakukan secara psikologis maupun fisik. Paksaan secara fisik dilakukan apabila paksaan secara psikologis belum mampu menyelesaikan konflik.
b. Arbitrasi
Arbitrasi merupakan proses untuk mengatasi konflik dengan melalui pihak tertentu yaitu arbitrator (wasit). Pihak ini dipilih secara bebas oleh pihak berkonflik.
c. Mediasi
Mediasi sebagai salah satu penyelesaian konflik dilakukan dengan menggunakan pihak ketiga yang memiliki hubungan baik dengan para pihak yang berkonflik.
d. Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian konflik atas insiatif pihak-pihak yang berkonflik. Kedua belah pihak melakukan pembicaraan dalam bentuk tawar menawar mengenai syarat-syarat mengakhiri konflik.
9. Randall Collins
Randaal Collins dalam teorinya tentang Stratifikasi Konflik berrangkat dari suatu asumsi bahwa orang dipandang mempunyai sifat sosial, tetapi juga terutama mudah berkonflik dalam hubungan sosial mereka. Konflik terjadi dalam hubungan sosial karena penggunaan kekerasan yang selalu dapat dipakai seseorang atau banyak orang dalam lingkungan pergaulan.
Pendekatan konflik terhadap stratifikasi dapat diturunkan menjadi tiga prinsip, yaitu; (a) orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri, (b) orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu, (c) orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akibatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik antar individu.

Perangkat Pembelajaran Sosiologi SMA

SILABUS DAN RPP SOSIOLOGI II Kls. XI SMA
I. SILABUS SOSIOLOGI SEMESTER I
    Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/Program : XI/Ilmu Sosial Semester : 1 (satu)
  1. Standar Kompetensi
    Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial
  2. Kompetensi Dasar
    Mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur sosial dalam fenomena kehidupan masyarakat.
    Menganalisis faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF


II. RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
    Nama sekolah : Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/semester : X I / 1
  1. Standar Kompetensi
    1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor mobilitas sosial.
  2. Kompetensi Dasar
    1.1.Mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur sosial dalam fenomena kehidupan asyarakat.
  3. Indikator
    Menjelaskan hakikat struktur dan deferensi sosial
    Mengidentifikasi deferensiasi sosial berdasarkan ras, etnis, agama, dan jender.
    Mendeskrispsikan berbagai pengaruh diferensiasi sosial yang terdapat dalam masyarakat.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF

III. RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
    Nama sekolah : Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/semester : X I / 1
  1. Standar Kompetensi
    1.Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial.
  2. Kompetensi Dasar
    1.1.Mendeskripsikan bentuk-bentuk struktur sosial dalam fenomena kehidupan masyarakat.
  3. Indikator
    Mendeskrispsikan stratifikasi sosial
    Mengidentifikasi macam-macam kriteria stratifikasi sosial di masyarakat.
    Mendeskripsikan berbagai pengaruh stratifikasi sosial yang terdapat di masyarakat.
    Membedakan konsolidasi dan interseksi yang terjadi di dalam masyarakat.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF

IV.RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
    Nama sekolah : Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/semester : X I / 1
  1. Standar Kompetensi
    1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial.
  2. Kompetensi Dasar
    1.2.Menganalisis faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat.
  3. Indikator
    Mendeskripsikan berbagai pengaruh diferensiasi dan stratifikasi sosial yang terdapat di masyarakat.
    Mengidentifikasi berbagai konflik dalam masyarakat.
    Membedakan konflik dengan kekerasan dalam masyarakat
    Mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya konflik di masyarakat.
    Mendeskripsikan proses terwujudnya integrasi dalam masyarakat.
    Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi sosial
    Menjelaskan faktor pendorong dan penghambat terwujudnya integrasi sosial.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF

V.RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
    Nama sekolah : Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/semester : X I / 1
  1. Standar Kompetensi
    1. Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik mobilitas
  2. Kompetensi Dasar
    1.3. Menganalisis hubungan antara struktur sosial dengan mobilitas
  3. Indikator
    Mendeskripsikan bentuk-bentuk mobilitas sosial di masyarakat
    Membedakan mobilitas sosial dengan gerakan sosial
    Mendeskripsikan proses terjadinya mobilitas sosial.
    Mengidentifikasi cara-cara yang dilakukan anggota masyarakat untuk mobilitas.
    Mendeskripsikan pengaruh mobilitas sosial terhadap kehidupan masyarakat.
    Mendeskripsikan hubungan antaa struktur sosial dengan mobilitas sosial.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF

VI.SILABUS SOSIOLOGI SEMESTER II
    Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/Program : XI/Ilmu Sosial Semester : 2 (dua )
  1. Standar Kompetensi
    Menganalisis kelompok sosial dalam dampak masyarakat multikultural.
  2. Kompetensi Dasar
    Mendeskripsikan berbagai kelompok sosial alam masyarakat multikultural.
    Menganalisis perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural.
    Menganalisis keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF

VII. RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
    Nama sekolah : Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/semester : X I / 2
  1. Standar Kompetensi
    1.Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikultural.
  2. Kompetensi Dasar
    2.1.Mendeskripsikan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat multikultural.
  3. Indikator
    Mendeskripsikan pengertian kebudayaan
    Mengidentifikasikan unsur-unsur kebudayaan.
    Mendeskripsikan hubungan antara unsur-unsur kebudayaan.
    Mendeskripsikan dinamika unsur-unsur kebudayaan.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF

VIII. RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
    Nama sekolah : Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/semester : X I / 2
  1. Standar Kompetensi
    1.Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikultural.
  2. Kompetensi Dasar
    2.2. Menganalisis perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat ultikultural.
  3. Indikator
    Mengidentifikasi kelompok sosial yang terdapat dalam masyarakat.
    Mengklasifikasikan kelompok-kelompok sosial yang terdapat dalam masyarakat.
    Mendeskripsikan dimensi hubungan antarkelompok sosial.
    Mendeskripsikan dinamika kelompok sosial di Indonesia.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF

IX.RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
    Nama sekolah : Mata Pelajaran : Sosiologi Kelas/semester : X I / 1
  1. Standar Kompetensi
    1.Menganalisis kelompok sosial dalam masyarakat multikultural.
  2. Kompetensi Dasar
    2.3.Menganalisis keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural.
  3. Indikator
    Mendeskripsikan pengertian masyarakat multikultural dan multikulturalisme.
    Menjelaskan faktor penyebab terjadinya kemajemukan dalam masyarakat multikultural.
    Menejalaskan pengeruh perubahan sosial terhadap perkembagnan masyarakat multikultural.
    Membedakan kelompok-kelompok sosial di masyarakat.
    Melakukan pengamatan tentang kelompok sosial di masyarakat.
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI Berbentuk File PDF