Sabtu, 12 Februari 2011

KRITIK TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL DI INDONESIA

KRITIK TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL
DI INDONESIA

Kekuatan Sosial yang Berperan dalam Perkembangan Teori-teori Sosial
Ilmu-ilmu sosial dalam sejarah perkembangannya menguraikan bahwa terjadinya perubahan sosial di Eropa berupa revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial di Perancis pada abad 19 dan 20 mengakselerasi lahirnya ilmu sosial. Revolusi industri bukan kejadian tunggal, tetapi merupakan berbagai perkembangan yang saling berkaitan yang berpuncak pada transformasi dunia barat dari corak sistem pertanian menjadi sistem industri. Banyak orang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Pabrik itu sendiri telah berkembang pesat berkat kemajuan teknologi.
Birokrasi ekonomi berskala besar muncul untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh industri dan sistem ekonomi kapitalis. Harapan utama dalam ekonomi kapitalis adalah sebuah pasar bebas tempat memperjualbelikan berbagai produk industri. Di dalam sistem ekonomi kapitalis inilah segelintir orang mendapatkan keuntungan sangat besar sementara sebagian besar orang lainnya yang bekerja membanting tulang dalam jam kerja yang panjang, menerima upah yang rendah.
Situasi seperti itulah mendorong munculnya reaksi menentang sistem industri dan kapitalisme pada umumnya yang diikuti oleh ledakan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal lain yang bertujuan menghancurkan sistem kapitalis dan berujung pada pergolakan dahsyat dalam masyarakat eropa. Pergolakan ini pula yang mendorong para sosiolog (Marx, Weber, Durkheim dan Simmel) untuk mempelajari masalah tersebut dan menghabiskan waktunya untuk mengembangkan program yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga muncullah istilah “sosialisme”, sebagai jawaban atas sistem kapitalisme yang dianggap meresahkan masyarakat di era industri.
George Berkeley (1713) menulis essai ilmu sosial bertajuk De Motu, yang berupaya melacak analogi antara dorongan tindakan fisik dalam dunia material dan dorongan moral dan dimensi psikologis dalam masyarakat. Ibarat tata surya yang saling tarik menarik satu sama lain, demikian juga halnya dengan manusia. Kekuatan tarikan moral menarik seperti kekuatan alam, manusia terdekat akan semakin kuat tarikannya. Pada saat yang sama juga terjadi fluktuasi tarikan pada manusia seperti kekuatan sentrifugal yang terjadi pada sistem tata surya.
Upaya semacam itu dalam konteks ilmu sosial dianggap premature. Karena untuk mencapai kemapanan ilmu sosial penting, paling tidak ada dua kondisi dasar yang wajib dipenuhi sebelum ilmu social dapat muncul, yaitu: (1) naturalism, yaitu doktrin yang menjelaskan bahwa semua gejala dapat dijelaskan dalam logika sebab akibat (cause and effect), (2) sistem evaluasi etis harus diminimalkan atau diabaikan sama sekali. Hal itu diperlukan agar gejala sosial tidak terkekang dalam persoalan nilai.
Para pemikir ilmu sosial terdahulu telah banyak memunculkan ide dan gagasan yang masih lazim digunakan oleh pemikir-pemikir sekarang, walaupun pada hakikatnya banyak menimbulkan pertentangan antara pemikir itu sendiri. Dengan berlandasakan pada beberapa proposisi utama yang rasional dan natural dalam ilmu sosial seperti; (1) pikiran merupakan perangkat yang secara universal dimiliki manusia, (2) hakikat manusia sama secara universal, (3) lembaga dibangun oleh manusia, bukan manusia ada untuk lembaga, (4) kemajuan merupakan hukum utama masyarakat serta (5) gambaran ideal manusia merupakan realisasi dari kemanusiaan itu, banyak memberikan inspirasi bagi teoritisi sekarang untuk mengembangkan konsep ilmu sosial baru.

Kritik Terhadap Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia
Ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia disebabkan oleh; Pertama, harus dilacak sejak Orde Baru berkuasa. Hal itu ditandai oleh dilarangnya Marxisme sebagai mata ajaran di seluruh jenjang pendidikan. Ini sangat penting karena, anda tidak bisa belajar teori dengan benar dalam suasana akademik yang tidak demokratis. Misalnya, ketika pengajar mengatakan, Marxisme itu berbahaya, teori kelas itu tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, para murid tidak bisa bertanya “kenapa berbahaya dan kenapa tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia?” Sekali murid bertanya, maka pengajar langsung curiga, “jangan-jangan si murid ini dari keluarga atau ada hubungan keluarga dengan orang-orang PKI.” ?
Katakanlah, si pengajar orang yang bijaksana dan terbuka pada pertanyaan seperti itu. Dan ia mau mendiskusikannya di ruang kelas, apa yang terjadi? Si pengajar dipanggil oleh atasannya, di cek “kebersihan dirinya,” lalu di wanti-wanti. Gila juga kan? Celakanya, larangan itu masih berlaku hingga kini, masa dimana orang berbusa-busa bicara demokrasi dan keterbukaan. Dan kita dapati, para intelektual yang menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa memperjuangkan secara sungguh-sungguh demokratisasi dunia pendidikan. Dan sangat lucu, bagaimana mereka bisa menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa sungguh-sungguh memahami apa itu Marxisme dan teori kelas, mendiskusikannya secara terbuka dan egaliter? Lantas, darimana mereka belajar Marxisme? Sembunyi-sembunyi di malam gelap? Pantas, jika ada joke, "salah satu tanda seorang intelektual, adalah dia berkacamata." Hah? Selain itu, pelarangan mata ajaran Marxisme membuat para intelektual dan calon intlelektual di Indonesia, terputus dari akar tradisi akademik yang sangat besar dan sangat dalam di dunia ini. Bagaimana anda bisa memahami teori Weberian, Parsonian, Schumpeterian, Keynesian, Dahlian atau bahkan Hayekian, tanpa memahami Marxian? Bagaimana anda bisa memahami, pandangan dunianya Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari atau Sayyid Qutb, tanpa memahami pandangan dunianya ilmuwan sekuler?
Perkembangan ilmu itu berlangsung secara dialektik, yang satu tidak mungkin berkembang tanpa yang lain, ia adalah hasil pergumulan tanpa henti, saling serang, saling kritik, yang satu mengafirmasi atau bahkan menegasi yang lain. Ilmu pengetahuan tak bisa berkembang atas nama yang suci, atau atas nama doktrin-doktrin yang turun dari langit.
Kedua, ilmu sosial kurang berkembang di Indonesia, adalah tidak adanya penghargaan yang komprehensif terhadap para intelektual. Coba dengar kata almarhum. Soedjono, mantan orang kuat jaman Soeharto, “Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya,” (Tempo, 4-10/2/2008). Akibat turunannya, yang berlanjut hingga kini, tidak ada fasilitas perpustakaan yang lengkap, tidak ada mekanisme yang terukur dan teruji menyangkut peningkatan kualitas tenaga pengajar, tidak ada jurnal yang berbobot, tidak ada dukungan bagi penerbitan karya-karya akademik bermutu, serta tidak ada jaminan rasa aman bagi intelelektual dalam kerja-kerja akademiknya.
Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa Arief Budiman cs dari universitas Satya Wacana, Salatiga, yang dipersona non gratakan, hanya karena mereka bersuara beda dengan kepentingan kekuasaan. Kasus paling anyar, tentu saja perlakuan keji terhadap almarhum Munir, yang dihabisi akibat kritik-kritiknya yang tajam. Dan hingga kini, kita masih saja mendengar, para intelektual yang bicara kritis, bisa segera di cap provokator, atau merusak suasana nyaman yang sangat dibutuhkan saat ini.
Ketiga, dua keadaan di atas telah membentuk budaya intelektual yang kering kerontang dan mentalitas cari aman serta penempuh jalan pintas. Kita tentu ingat dengan ungkapan ini, “karya terbesar intelektual di Indonesia, adalah disertasi doktoralnya.” Setelah itu, tak ada lagi, dan dalam waktu singkat mereka berbondong-bondong menjadi komentator atau menjadi manajer. Kita akan dengan mudah menemukan mereka lewat artikel-artikel yang bertaburan di media massa. Bahkan, ada yang secara spektakuler sanggup menulis lebih dari dua artikel berbeda dalam sehari di media yang berbeda. Kita juga akan mudah melihat wajah mereka di layar kaca, menjadi pembicara atau host. Kalau kita ikuti perdebatan mereka di layar kaca, kita akan segera tahu betapa pandainya mereka bermain kata-kata.
Profesi lain dari para intelektual ini adalah menjadi manajer kampanye politik dari kandidat yang mereka dukung atau yang membayarnya. Jika kandidat yang mereka dukung menang, mereka ikut dalam kereta kencana kekuasaan, menjadi juru bicara atau tukang bisik penguasa. Kita jadi bingung, mereka omong sebagai intelektual yang harus menimbang secara cermat setiap kata yang diucapkan dan ditulisnya, atau mereka menjadi tukang pembenar segala langkah yang ditempuh patronnya. Hari ini omong A, besok omong B.
Kondisi ini dengan telak mematahkan asumsi yang luas diyakini selama ini, bahwa kesulitan terbesar dari tidak lahirnya karya-karya bermutu dari intelektual di Indonesia, karena rendahnya imbalan material buat mereka. Boleh jadi benar bahwa gaji para intelektual itu sangat rendah dibandingkan dengan rekannya di Amerika, misalnya. Tapi, kita tahu persis, kini sebagian dari para intelektual itu menikmati pendapatan yang sangat besar, bahkan ada yang telah menjadi kaya-raya. Hampir semua dari intelektual yang bergelar doktor itu punya proyek, apakah dalam bentuk LSM atau lembaga think-tank. Tapi, apakah kemudian mereka menghasilkan karya bermutu?
Keempat, para teoritisi sosial hanya memberikan jawaban dan kritik terhadap teori-teori yang dikemukakan teoritisi lainnya, sehingga kadang-kadang mereka larut dalam pertentangan konsep yang berkepanjangan. Sebut saja misalnya antara ilmu sosial positif dan ilmu social kritis. Ilmu sosial positif berasumsi bahwa cara penjelasan yang dilakukan terhadap suatu obyek diberlakukan secara umum terhadap semua ilmu pengetahuan. Paradigma yang dikembangkan adalah nomologis dan ini tidak bisa diterima oleh ilmu sosial pada umumnya, terutama ilmu sosial kritis.
Cara ilmu ini selain nomologis adalah ahistoris, diterministik dan prohabilistik. Penjelasan terhadap suatu gejala biasanya dikaitkan dengan usaha meramalkan apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Semua kegiatan didalam ilmu sosial positif, dari pengumpulan data, penyempurnaan data, korelasi data, dan formulasi generalisasi, hipotesa dan pengembangan model-model penelitian, semuanya diarahkan untuk menguji teori yang dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah logika yang ditetapkan secara ketat.
Ilmu sosial kritis justru hadir menentang kaidah-kaidah keilmuan yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial positif, dan karena itu mudah menggoncang paradigma. Bila ilmu-ilmu sosial positif mempelajari perilaku manusia maka ilmu sosial kritis mempelajari aksi manusia dan melihat bahwa dunia sosial diciptakan melalui tindakan manusia dan pemahaman inter subyektif.
Ilmu sosial kritis mencoba memahami hubungan kondisi-kondisi sosial dengan tindakan subyektif manusia dengan berbagai macam kepentingannya. Karena hubungan antara kondisi sosial dan tindakan manusia itu sifatnya sangat rumit, maka ilmu sosial kritis tidak percaya dengan apa yang disebut prediksi. Karena hakekat masyarakat adalah pemahaman dan tindakan masyarakat itu sendiri maka secanggih apapun kondisi sosial itu diramalkan dan diatur dengan ketat sedemikian rupa, didalamnya pasti terdapat banyak kesalahan. Kalau konsep-konsep dan katagori-katagori ilmu sosial positif masih banyak kita gunakan sekarang, pada masa datang nanti sudah tidak dapat lagi. Kaum positivist beranggapan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah usaha mengembangkan disiplin ilmu yang dipelajari, tetapi tragisnya mereka justru melepaskan bagaimana proses-proses sosial itu tercipta.
Jika semua proses sosial dipahami sebagai produk tindakan manusia, maka semua pertimbangan kritis harus dimulai dari pemahaman, nilai-nilai, dan inter subyektif. Pengertian-pengertian, nilai-nilai dan motif-motif ini harus dikembangkan dengan proses-proses sosial dengan cara menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka dibangun oleh tindakan dan refleksi manusia.
Penjelasan-penjelasan kritis di dalamnya meliputi teori-teori dasar tentang perubahan struktural, nilai-nilai, pengertian-pengertian dan motif-motif yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan struktural. Perbedaan-perbedaan pemahaman tentang struktur sosial (meliputi kekuatan domianan dan kekuatan pinggiran) harus dikaji dalam teori kritis. Sebagai contoh suatu gagasan mobilitas sosial boleh jadi didukung oleh pengalaman personal golongan minoritas kapitalis, terutama di Amerika Serikat pada waktu itu. Konsep mobilitas sosial dalam prakteknya ternyata hanya memberikan keuntungan kaum kapitaslis belaka, sedang orang-orang golongan lemah justru semakin tersingkir karena kelemahannya secara ekonomis oleh penguasa kapitalis.
Konsep-konsep yang diciptakan oleh manusia ternyata dalam prakteknya dapat memberikan keuntungan bagi beberapa pihak dan merugikan beberapa pihak-pihak lainnya. Selama manusia yang mencari keuntungan ingin tetap mempertahankan posisi mereka sedang mereka yang tidak diuntungkan dengan sistim tersebut sengaja dibuat tidak paham agar terus menerus dapat dijadikan ajang dominasi. Ilmu sosial kritis hadir ditengah-tengah masyarakat dengan pertimbangan-pertimbangan kritis, ingin menyadarkan manusia yang tidur didunia mereka sendiri. Karena karakternya yang demikian, maka didalam dirinya senantiasa terkandung keinginan untuk melakukan perubahan, baik secara radikal atau tidak.
Perubahan-perubahan radikal terjadi karena adanya kontrakdisi-kontrakdisi dalam proses sosial, artinya ada pihak yang mencari keuntungan dan ada yang dirugikan dari haknya antar kelompok didalam ilmu sosial. Semua ini dapat dipahami lewat ideologi dan kondisi-kondisi sosial yang berkembang selama ini. Kontrakdisi fundamental akan terjadi apabila kepentingan-kepentingan sebagian fihak bertentangan terus menerus dengan kepentingan pihak lainnya, misalnya dalam satu sistim sosial yang memberlakukan praket-praket monopoli berhadapan dengan sistim kompetisi bebas. Satu kelompok atau kelompok yang tertindas di dominasi dalam sistim yang berkembang sekarang ini akan melakukan perlawanan dan melakukan perubahan sosial sebagaimana mereka kehendaki. Ini adalah perkara politik dan karena itu harus berkali-kali dijelaskan bahwa teori kritis memang tidak bisa dipisahkan dari politik praktis.
Sejauh mana pergolakan politik itu timbul tergantung pada derajad pertentangan kepentingan kaum progressive dengan para pemegang kekuasaan. Kalau kontradiksi yang terjadi tidak terlalu mendesak, pada umumnya dapat diselesaikan melalui cara damai tanpa harus membungkus ideologi dan struktur kekuasaan. Tetapi kalau kontradiksi itu sangat mendesak, tidak ada cara lain kecuali merombak ideologi dan struktur yang dianggap tidak mapan. Kapan kontradiksi fundamental itu akan terjadi tidak dapat diramalkan oleh ilmu sosial, sebab ini menyangkut kesepakatan manusia secara bersama-sama menghadapi ideologi dan struktur yang berkembang. Karena itu dapat dirumuskan bahwa tujuan teori kritis bukanlah untuk meramalkan perubahan sosial, melainkan memahami perkembangan sejarah masyarakat sehingga mereka melakukan perubahan sosial. Masuknya ilmu sosial kritis dalam percaturan politik praktis seperti dikatakan diatas kemudian membedakan para ilmuwan sosial positif disatu pihak dengan ilmuwan sosial kritis dilain pihak.
Ilmu sosial di Indonesia seperti di negara lain, oleh penulis dianggap tidak mengalami perkembangan seperti halnya dengan ilmu lain, misalnya ilmu alam. Walaupun perkembangannya tidak terlalu besar, tetapi dapat memberikan kontribusi berarti dalam pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Salah satu cabang ilmu sosial yang cukup signifikan dalam perkembangan ilmu sosial adalah sosiologi itu sendiri, di mana perkembangan terakhir ini muncul suatu isitilah baru dalam sosiologi, yaitu sosiologi profetik, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma ilmu sosial profetik (ISP). ISP dicetuskan oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan ilmu sosial yang mampu mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental. Sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini sekaligus menjawab teori positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos dan cerita rakyat (folk wisdom) yang belum tentu kebenarannya.
Uraian ini memberikan gambaran bahwa secara ontologi perkembangan ilmu sosial yang berkiblat ke dunia barat, dapat memberikan penguatan terhadap kelahiran konsep dan istilah baru ilmu sosial. Konsep terdahulu dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam merumuskan dan pengembangan teori-teori sosial modern, bahka lebih dari itu dijadikan sebagai konsep penanganan masalah-masalah sosial yang melanda semua negara di dunia.
Secara hipestemologi, ilmu sosial yang berkembang dsampai dewasa ini maish sering dipertentangkan, apakah bisa diistilahkan sebagai ilmu baru atau hanya sebuah kata yang mengandung unsur sastra. Pertanyaan ini masih melengkapi teka teki keilmiahan teori sosial. Pembentukan premis mayor dan minor yang seharusnya melandasi conclucion sebuah teori masih sering dipertanyakan, apakah sesuai dengan metode ilmiah atau hanya hanya sekadar pernyataan biasa.
Secara aksiologi, kekurangan perkembangan ilmu sosial di Indonesia yang mendapat inspirasi dari dunia luar yang kebarat-baratan (westernisasi) lebih mengutamakan unsur akal dan nafsu, sehingga melahirkan konsep yang berwarna liberal, kapital, dan humanis. Suatu konsep yang bertolak belakang dengan nilai dan norma kehidupan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi peradaban dan kesantunan dalam bermasyarakat. Namun dengan adanya terpaan angin liberal dan kapitalis yang begitu kencang, tatanan kehidupan Inondesia yang dulunya masih memegang teguh nilai dan norma, kini mulai terkikis dan terganti dengan budaya liberal dan kapitalis yang serba material dan hedonis.

















DAFTAR PUSTAKA



Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Rosda Karya. Bandung.

Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

Ritzer George dan D.J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Sosiologi. Bumi Aksara. Jakarta.

_______________. 1982. Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar