Sabtu, 12 Februari 2011

Teori Konflik dan Teori Struktural Funsgional

Perbedaan Teori Struktural Fungsionalisme dengan Teori Konflik

Teori struktural fungsionalisme atau pendekatan konsensus berakar pada pandangan-pandangan mengenai masyarakat yag dikemukakan oleh Auguste Comte, Emile Durkheim, Herbert Spencer dan Talcott Parsons. Selanjutnya dikembangkan oleh Robert K. Merton, Jeffrey C. Alexander dan Niklas Luhmann.
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsionalisme, yang berakar pada pandangan Karl Marx mengenai masyarakat dan diperkaya oleh Max Weber dan Georg Simmel, yang selanjutnya dikembangkan oleh Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dan Jonathan Turner. Teori struktural fungsionalisme dan teori konflik jika dibandingkan dari berbagai dimensi memiliki perbedaan, yaitu:
Dimensi Teori Struktural Fungsional Teori Konflik
Pandangan mengenai masyarakat Stabil, terintegrasi secara baik Ditandai oleh adanya ketegangan dan konflik antar kelompok
Pandangan mengenai individu Individu anggota masyarakat disosialisasi untuk menunjukkan fungsi sosialnya Individu anggota masyarakat diatur melalui kekuasaan, paksaaan, dan kewenangan
Pandangan mengenai tata sosial Tertib sosial terpelihara melalui kerja sama dan konsensus Tertib social terpelihara melalui kekuasaan, kekuatan dan paksaan
Pandangan mengenai perubahan sosial Statis, berubah secara seimbang, dapat diperkirakan Perubahan dapat terjadi di setiap waktu dan mungkin memiliki dampak positif
Konsep-konsep kunci Sistem sosial, keseimbangan, stabilitas, pembagian kerja, fungsi manifest, fungsi laten dan disfungsi sosial Kekuasaan, eksploitasi, persaingan kepentingan, ketidaksamaan social, penaklukan kelompok dan alienasi
Dimensi Teori Struktural Fungsional Teori Konflik
Tokoh perintis Auguste Comte, Emile Durkhkeim, Herbert Spncer Karl Marx, Max Weber, Georg Simmel
Tokoh penerus Talcott Parsons, Robert K. Merton, Jefrey C. Alexander, Niklas Luhmann Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, Joseph Hims, Jonathan Turner, Barrington Moore, Jeffrey Paige, Theda Sockpol
Sumber: diolah berdasarkan Ritzer & Goodman (2008:153) dan Nasikun (1992:11)

A. Teori Struktural Fungsionalisme
Menurut teori struktural fungsionalisme, masyarakat pada dasarnya meruakan jaringan dari bagian-bagian yang saling terkait, setiap bagisan menyumbang pada pemeliharaan sistem secara keseluruhan. Masyarakat pada dasarnya akan selalu bergerak kea rah interaksi yang mempersatukan (integrative). Integrasi merupakan bentuk dasar interaksi masyarakat.
Meskipun integrasi merupakan bentuk dasar masyarakat, namun tidak berarti dalam masyarakat tidak ada ketegangan-ketegangan antarwarga. Karena berbagai sebab, ketegangan dan konflik akan terus terjadi dalam masyarakat. Namun demikian, ketegangan dan konflik tersebut akan lenyap. Masyarakat akan kembali berada dalam keseimbangan. Hal ini terjadi karena dala setiap sistem sosial terdapat konsensus atau kesepakatan di antara warga masyarakat mengenai nilai-nilsi dasar yang menjadi pondasi sistem sosial. Konsensus itulah yang menjadikan warga masyarakat memiliki komitmen untuk mengatasi perbedaan dan konflik mereka.
Selain itu, keseimbangan juga dapat terwujud karena setiap sistem sosial memiliki mekanisme yang mengarahka keinginan-keinginan warga menuju terpeliharanya sistem sosial. Mekanisme sosial tersebut adalah sosialisasi dan kontrol sosial. Melalui sosialisasi, warga masyarakat belajar tentang norma-norma sosial yang berlaku.
Teori struktural fungsionalisme sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah anggapan dasar, yaitu:
1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Dengan demikian hubunga pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis, menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya, hanya akan mencapai derajat yang minimal.
4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
5. Perubahan-perubaha di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
6. Pada dasarnya perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan: (a) penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar, (b) pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsionalisme, (c) penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7. Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar tertentu terhadap sebagian besar anggota masyarakat menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang mutlak benar.
Dengan cara lain dapat dikatakakan bahwa suatu sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut adalah apa yang dikenal sebagai norma-norma sosial yang pada akhirnya membentuk struktur sosial.

B. Teori Konflik
Menurut paham ini, konflik selalu terkait dengan kekuasaan. Dalam masyarakat selalu ada kelompok warga yang memiliki kekuasaan dan yang tidak. Dengan kata lain ada ketidakmerataan pembagian kekuasaan, Kedua kelompok ini memiliki kepentingan berbeda, kelompok pemilik kekuasaan berkepentingan untuk memelihara dan mengukuhkan pola-pola hubungan kekuasaan yang ada dan menguntungkan mereka. Sedangkan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan berkepentingan untuk mengubah pola-pola hubungan kekuasaan itu.
Pandangan teori konflik berpangkal tolak pada anggapan-anggapan dasar bahwa:
1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.
Perubahan social oleh para penganut faham ini tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, akan tetapi lebih daripada itu malahan dianggap bersumber di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat itu sendiri yang saling bertentangan.
Pendekatan konflik terhadap stratifikasi dapat diturunkan menjadi tiga prinsip, yaitu; (a) orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri, (b) orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu, (c) orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akibatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik antar individu semakin besar.
Pada dasarnya konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat terdiri atas sembilan tahap, yaitu :
1. Sistem sosial tersusun atas sejumlah unit yang saling tergantung satu sama lain.
2. Ada ketidaksamaan distribusi mengenai sumber-sumber langkah yang bernilai di antara unit-unit tersebut.
3. Unit-unit yang menerima pembagian sumber-sumber secara tidak proporsional mulai mempersoalkan legitimasi dari sistem sosial yang ada.
4. Masyarakat yang tidak berpunya mulai menyadari bahwa ada kepentingan bagi mereka untuk mengubah sistem lokasi sumber-sumber yang ada.
5. Mereka yang tidak berpunyai mulai menjadi emosional.
6. Secara berkala muncul ledakan frustrasi, seringkali tidak terorganisasi.
7. Intensitas keterlibatan mereka dalam konflik semakin meningkat dan keterlibatan tersebut semakin emsosional.
8. Berbagai upaya dibuat untuk mengorganisasikan keterlibatan kelompok tak berpunya dalam konflik tersebut.
9. Akhirnya, konflik terbuka dalam berbagai tingkat kekerasan terjadi diantara mereka yang tidak berpunya dan mereka yang berpunya.
Namun demikian tidak semua konflik mengarah pada akibat negative tetapi juga mempunyai fungsi-fungsi positif (konflik fungsional). Salah satunya adalah mengurangi ketegangan dalam masyarakat, serta mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial.

















DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Remaja Rosda Karya. Bandung.

Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

Ritzer George & Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern; Edisi Keenam, Diterjemahkan oleh Alimandan. Kencana. Jakarta.

Saptono & Bambang Suteng S. 2006. Sosiologi. Phibeta. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1982. Teori Sosiologi Tentang Peribadi dalam Masyarakat. Ghalia Indonesia. Jakarta.

________________. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar; Edisi Keempat. Rajawali Pers. Jakarta.

Suzan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-isu Kontemporer. Kencana. Jakarta.

1 komentar: